“Sebaik-baik sarjana adalah yang mengabdikan ilmu untuk masyarakat. Sementara sarjana yang hanya sekadar bekerja itu sarjana kelas dua,” kata seorang laki-laki tua kepada Aisyah (Laudya Cynthia Bella) seusai acara kenduri meninggalnya ayahnya.
Ibu Aisyah (Lydia Kandou) juga menginginkan Aisyah segera bekerja. Aisyah juga ingin tapi tidak mau sembarang ambil pekerjaan. Ia adalah seorang sarjana yang baru saja lulus. Sebagai sarjana pendidikan, Aisyah ingin mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar.
Suatu hari Aisyah ditelepon dari sebuah yayasan tempat ia mengirimkan lamaran. Tenyata ia mendapatkan tempat untuk menjadi pengajar. Di sebuah yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Tempat itu bernama Dusun Derok, di Kabupaten Timur Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Aisyah senang dengan kabar ini, namun tidak dengan ibunya. Lalu terjadilah konflik kecil dengan ibunya. Ibunya menganggap kepergian Aisyah itu untuk ‘melampiaskan’ kegeramannya pada Aa yang dicintainya (Ge Pamungkas). Keukeuh, Aisyah memutuskan untuk tetap berangkat ke NTT. Ibunya pun mengizinkannya—dengan berat hati.
Tiba Aisyah di tempat asing, Di Dusun Derok. Gersang dan tandus. Ia merasa di dunia lain. Kampung yang terpencil, miskin sinyal telepon dan tidak ada aliran listrik. Air juga susah, musim kemarau yang panjang sangat meranggas.
Ketika datang, ia disambut oleh tarian selamat datang. Masyarakat yang mayoritas memeluk agama Katolik menganggap Aisyah sebagai Suster Maria, sebab sama-sama memakai kerudung. Dianggap seperti itu, Aisyah pun pingsan. Ketiadaan listrik membuat mereka miskin informasi.
Awal mengajar, Aisyah harus menghadapi sebuah kenyataan bahwa ia dibenci oleh seorang murid bernama Lordis Defam. Ia pun bingung dan tidak tahu mengapa Lordis membencinya. Apalagi murid-muridnya berhasil mengosongkan kelas yang seperti gubuk itu sepi karena provokasi seorang Lordis.
Aisyah pun mencari tahu dan akhirnya mengerti dari kepala dusun bahwa kedatangannya sebagai guru yang beragama muslim dianggap musuh oleh Lordis Defan yang penganut Katolik.
“Orang Islam ke sini mau membakar gereja-gereja kita!” kata Lordis.
Film garapan Herwin Novianto ini lumayan sensitif karena sarat friksi dengan isu keagamaan—mengingat konflik Ambon. Melihat trailernya memang sudah bikin penasaran. Lalu ketika menonton disajikan dari adegan per adegan membuat penulis sempat deg-degan apakah jalan cerita ini akan ‘selamat’ atau makin memperumit. Bagaimana ketika Aisyah menghadapi kesulitan makanan yang rata-rata masyarakat di sana mengkonsumsi daging babi, bagaimana ketika Aisyah harus menghadapi para murid Katolik yang membencinya, bagaimana sikap Aisyah ketika muridnya merayakan natal, dan sebagainya.
Bersetting di Ciwidey, Jawa Barat yang sejuk dan penuh tumbuhan hijau dan NTT yang gersang serta tumbuhan serba menguning kering air dan listrik memang teramat berbeda. Tapi di sinilah, kontrasnya tentang kekayaan alam Indonesia—yang juga tamparan buat pemerintah tentang kesenjangan sosial.
Meski bergenre drama, film berjudul “Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara” ini memang sarat dengan sentilan dunia pendidikan untuk para sarjana dan kritik sosial— tak melulu cinta. Jalan cerita yang tak putus membuat penasaran para penonton, apalagi dengan candaan polos dari para pemain anak-anak yang ori penduduk setempat dan baru berbaur akting membuat film ini menjadi segar. Meski di sana akan kita temui hal yang tak kita sepakati.
Sumber : BersamaDakwah.net
Sumber : BersamaDakwah.net
0 Response to "Ketika Bu Guru Aisyah Ditantang Anak-Anak Katolik"
Posting Komentar